Posted on Tulis komentar

Rumah Kontrakan

Hampir semua diantara kita yang tinggal di rumah kontrakan memiliki keinginan untuk memiliki tempat tinggal tetap. Dia bekerja keras demi mewujudkan cita-cita tersebut. Dan yang sudah memiliki rumah bagus nan mewah, terbetik di hatinya untuk merenovasi rumahnya menjadi lebih indah. Hal tersebut tentunya tidak apa-apa selama dari hasil yang halal dan sesuai syariat.

Namun pada hakekatnya, semuanya akan digusur, kalau bukan dari rumahnya, maka penghuninya yang akan dipaksa keluar dari rumah idamannya. Lihatlah kerajaan Fir’aun, penguasa Mesir yang memiliki istana-istana indah, yang dialirkan sungai-sungai di dalamnya. Namun, ia pun pergi meninggalkan rumah dan bangunan yang didirikannya. Ataupun istana Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dan singgasana Ratu Bilqis.  Sulaiman adalah nabi dan raja yang shalih dan tersohor. Namun keshalihan dan kenabiannya tidak dapat menjadikannya kekal abadi tinggal di istana dan kerajaan yang dibangunnya. Ternyata Nabi Sulaiman juga harus keluar meninggalkan istananya dan singgasana Ratu Bilqis yang spektakuler.

Rumah Milik Pribadi

Ada sebuah rumah pribadi yang tidak akan digusur, tidak akan diusir, tidak ngontrak tetap selamanya. Kaya miskin bisa dapat. Tidak pandang bulu dan tidak perlu berhutang. Ada beberapa cara untuk mencicilnya, silahkan dipilih, tapi kalau bisa punya sebelas rumah, jangan diabaikan. Beberapa kiatnya adalah shalat sunnah dua belas rakaat sehari semalam, membangun masjid, membaca surat Al Ikhlas sepuluh kali, bersabar dan memuji Allah ketika buah hati meninggal, membaca doa masuk pasar, meninggalkan dusta, meninggalkan debat, menutup celah antara shaf shalat, berhijrah, berjihad, dan berakhlak yang baik.

Itulah beberapa cara untuk memiliki rumah di surga, supaya kita tidak mengontrak terus. Kemudian kapan kita bisa menempai rumah ini? Insyaallah tatkala kita melewati sirath di atas neraka jahannam kita akan mendapati rumah yang abadi. “Yaa Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu”.

Referensi:
https://almafatih.com/toko/rumahku-masih-ngontrak

Posted on Tulis komentar

Keutamaan Shalat Dhuha

Terdapat beberapa hadits yang menyebutkan keutamaan shalat Dhuha, baik shahih maupun dhaif. Sebagai bentuk penghormatan kepada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka pada kesempatan ini, hanya akan disebutkan hadits tentang keutamaan shalat Dhuha yang dinilai shahih oleh para ulama pakar hadits sebagai hadits shahih. Di antara keutamaan shalat Dhuha adalah sebagai berikut:

Pertama, shalat Dhuha merupakan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan: “Kekasihku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) mewasiatkan kepadaku tiga hal: puasa tiga hari setiap bulan, shalat Dhuha dua rakaat, dan shalat Witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari 1981 dan Muslim 721)

Kedua, shalat Dhuha merupakan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan: “Kekasihku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) mewasiatkan kepadaku tiga hal: puasa tiga hari setiap bulan, shalat Dhuha dua rakaat, dan shalat Witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari 1981 dan Muslim 721)

Ketiga, dua rakaat Dhuha menggantikan tanggungan sedekah harian. Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda: “Setiap pagi kalian diwajibkan mensedekahi setiap ruas tulang. Setiap tasbih (bacaan subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (bacaan alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (bacaan lailahaillallah) adalah sedekah, setiap takbir (bacaan allahuakbar) adalah sedekah, amar makruf adalah sedekah, dan nahi munkar adalah sedekah. Dan dua rakaat di waktu Dhuha menggantikan semua sedekah itu.” (HR. Muslim 720)

Keempat, orang yang melaksanakan shalat Dhuha seperti orang yang mendapat banyak harta rampasan perang. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan: “Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus sekelompok utusan perang, kemudian utusan ini membawa banyak harta rampasan perang dan pulangnya cepat. Kemudian ada seseorang berkata: “Wahai Rasulullah, kami tidak pernah melihat kelompok yang lebih cepat pulang dan lebih banyak membawa ghanimah (harta rampasan perang) melebihi utusan ini.” Kemudian beliau menjawab: “Maukah aku kabarkan keadaan yang lebih cepat pulang membawa kemenangan dan lebih banyak membawa rampasan perang? Yaitu seseorang berwudhu di rumahnya dan menyempurnakan wudhunya kemudian pergi ke masjid dan melaksanakan shalat Subuh kemudian (tetap di masjid) dan diakhiri dengan shalat Dhuha. Maka orang ini lebih cepat pulang membawa kemenangan dan lebih banyak rampasan perangnya.” (HR. Abu Ya’la dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

Kelima, jaminan dipenuhinya kebutuhan di sore harinya. Dari Uqbah din Amir Al Juhani radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ” Sesungguhnya Allah berfirman: “Wahai anak Adam, laksanakan untukKu empat rakaat di awal siang, Aku akan penuhi kebutuhanmu dengan shalat tersebut di akhir harimu.” (HR. Ahmad dan Abu Ya’la, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani) . Ditegaskan oleh Ibnu Abdil Bar bahwa para ulama memahami empat rakaat tersebut adalah shalat Dhuha (Al Istidzkar, 2/267)

Keenam, mendapat pahala seperti orang yang umrah. Dari Abu Umamah radhiyallu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk shalat jamaah dalam keadaan telah bersuci, maka pahalanya seperti pahala jamaah haji yang sedang ihram. Dan barangsiapa beranjak untuk melakukan shalat Dhuha, dan tidak ada yang menyebabkan dia keluar (dari rumahnya) kecuali untuk shalat Dhuha maka pahalanya seperti pahala orang yang umrah. Shalat setelah melaksanakan shalat, sementara di antara kedua shalat tersebut tidak membicarakan masalah dunia, adalah amalan yang akan dicatat di illiyyin (tempat catatan amal kebaikan).” (HR. Abu Daud 558, dihasankan oleh Syaikh Al Albani)

Ketujuh, shalatnya para Awwabin. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada yang menjaga shalat Dhuha kecuali para Awwabin.” Beliau mengatakan: “Shalat Dhuha adalah shalatnya para Awwabin.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Khuzaimah, Al Hakim, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani). Awwabin berasal dari kata awwab, artinya orang yang kembali. Disebut Awwabin, karena mereka adalah orang yang kembali kepada Allah. Sebagian ulama menafsirkan Awwabin dengan orang yang taat, ada juga yang memaknai Awwabin dengan orang yang suka kembali pada aturan dan ketaatan kepada Allah melalui taubat, ikhlas, dan meninggalkan hawa nafsu (Faidhul Qadir 1/408 dengan beberapa penambahan)

Referensi :
https://almafatih.com/toko/fiqih-shalat-dhuha

Posted on Tulis komentar

Menghadap Kiblat Saat Shalat

  • Wahai sesama muslim, jika engkau berdiri untuk shalat maka menghadaplah ke arah kiblat di mana pun engkau berada, baik ketika shalat wajib maupun shalat sunnah. Karena, ini merupakan salah satu rukun shalat yang jika ditinggalkan, maka shalat itu menjadi tidak sah.
  • Kewajiban menghadap kiblat menjadi gugur bagi orang yang sedang berperang ketika shalat khauf (shalat dalam keadaan takut) atau dalam kancah pertempuran yang dahsyat.

Begitu juga bagi orang yang tak mampu melaksanakannya, seperti orang yang sakit atau ketika berada di atas perahu, mobil, atau pesawat jika ia khawatir akan kehilangan waktu shalat.

Juga bagi orang yang mengerjakan shalat sunnah atau witir ketika naik kendaraan. Tetapi jika keadaannya memungkinkan,, maka ia tetap disunnahkan untuk menghadap kiblat ketika melaksanakan takbiratul ihram saja, kemudian menghadap ke mana arah tujuannya.

  • Orang yang berada di depan ka’bah wajib untuk langsung menghadap kepadanya, dan bagi orang yang tidak berada di depan ka’bah maka dia menghadap ke arah yang di sana ka’bah berada.
  • Jika seseorang melaksanakan shalat dengan tidak menghadap ke arah kiblat disebabkan oleh mendung atau selainnya, dan hal itu dilakukannya setelah berijtihad dan berusaha keras mencari arah kiblat, maka shalatnya tadi sudah cukup (sah) dan ia tidak wajib mengulanginya.
  • Jika datang orang yang tsiqah (terpercaya) kemudian ia menunjukkan arah kiblat ketika melaksanakan shalat, maka wajib baginya untuk segera berbalik ke arah kiblat, dan shalatnya tadi tetap sah.

Referensi: 

Sifat Shalat Nabi